Jomblo
Bel pulang berbunyi. Bu Eliza baru saja
melangkah keluar, saat tiba-tiba Julian -anak kelas sebelah, masuk ke kelas.
Dia berjalan cepat dan terkesan sedikit
gugup menuju ke arah meja seseorang, kemudian berhenti tepat di depan meja
Melanie.
Melanie terlihat sedikit terkejut, bingung
dengan kedatangan Julian yang tiba-tiba. Sekarang yang dia lakukan hanya
mendongak menatap wajah Julian dengan heran.
“Julian? Ada apa?” tanya Melanie dengan dada berdebar.
Julian yang dari tadi terlihat gugup,
berusaha bersikap lebih tenang dengan menarik nafas dalam-dalam. Lalu, dia
mengeluarkan setangkai mawar merah yang tadi disembunyikan di balik
punggungnya.
“Mel, gue sayang sama lo sejak dari pertama masuk SMA ini ... lo mau
nggak jadi pacar gue?”
Suara ramai anak-anak yang bersiap pulang,
hening seketika. Hampir seisi kelas menoleh ke arah mereka berdua. Seperti ikut
menunggu jawaban yang akan keluar dari bibir Melanie.
“Please ...” Julian setengah memohon.
Melanie tersenyum dengan rona merah di
pipinya. Lalu dengan tersipu dia berkata, “Iya ...”
Seisi kelas langsung bersuit riuh menggoda
pasangan baru itu. Wajah Julian terlihat lega dan bahagia, sementara Melanie
berusaha menyembunyikan wajahnya yang semakin merona.
Alex menyenggolku dengan sikunya.
“Sweet ya mereka.” Dia berbisik.
“Iya.” sahutku datar.
“Kita kapan ya begitu? perasaan udah dari abad pertengahan masih
nge-jomblo aja.“ Alex menggaruk kepalanya sambil nyengir lebar.
Aku menoleh kearah wajah bodoh Alex sambil
mengerutkan hidung sebagai tanda jijik dengan kata-katanya barusan. “Kita? Lo aja
kali. Gue bukan jomblo. Gue single. Beda.” Langsung menoyor kepala Alex.
“Yaelah Bro, sama aja kali.” Alex tertawa.
“Serah lo dah, yang penting gue bukan jomblo.” Aku langsung cabut keluar kelas
tanpa menunggu Alex.
“Iya. Lo bukan jomblo, lo kan jones. Itu emang beda.” Masih
terdengar tawa Alex di belakangku.
Aku menggelengkan kepala mendengarnya.
Ckckck, kasian Alex, udah bertahun-tahun putus sampe sekarang masih jomblo aja.
Aku? Aku bukan jomblo. Aku single. Kalian tau kan beda nya jomblo ama single?
Kalo jomblo itu cara pandang orang ke kita, nah kalo single itu cara kita
memandang diri sendiri. Nggak beda? Ya iyalah, nggak beda. Cuma beda di harga
diri aja. Eeaaa ... Emang punya?
Aku emang nggak punya pacar. Malem minggu
cuma di rumah nemenin Papa maen catur, sambil bikin status ‘OTW jemput
seseorang' di Medsos. Bukannya pengen bohong, aku cuma nggak mau pamerin ke
jomblo-an karena sebenernya aku emang nggak ngerasa jomblo.
Pasalnya, walaupun belum pacaran, tapi hati
dan pikiranku udah dimiliki sama seseorang. Namanya Sasha, temen sekelas sejak
kami kelas satu dulu. Tadinya semua berjalan normal dan apa ada nya sampe kami
berdua mulai sering di ciee-ciee in sama temen-temen. Mungkin karena kadang
kami melakukan sesuatu secara bersamaan. Ambil buku bareng di ciee-ciee in,
berdiri bareng di ciee-ciee in, bahkan pas kami ke toilet bareng juga di
ciee-ciee in -trus aku dilempar sepatu karena masuk toilet cewek. Atau mungkin
karena kami sama-sama jomblo? Entahlah. Yang aku tau, sekarang aku mulai hobi
ngeliatin dia secara diem-diem.
Dia bukan cewek yang jaim, dia ramah, baik,
cantik dan suka bercanda juga. Tipe ku banget lah pokoknya. Sampe aku nggak
bisa berhenti mikirin dia.
Bayangin aja nih, biasanya aku yang selalu
pasang muka serius setengah ngantuk pas lagi maen catur sama papa, eh tiba-tiba
aku senyum-senyum. Nah jelas aja papa langsung khawatir takut aku kenapa-napa.
Dia pun manggil mang Ujang -supir papa yang katanya orang pinter pake tanda
petik- itu. Mang Ujang ngelempar garam ke muka aku sambil teriak 'balik sia
jurig!' aku yang bingung langsung nanya 'apaan tuh artinya?' nah mang Ujang
langsung lega sambil lapor ke papa kalo si jurig udah berhasil di suruh pulang.
Apapun maksudnya itu, aku yakin itu semua karena senyum. Makanya sekarang aku
selalu mati-matian nahan senyum di depan papa walaupun hatiku sedang
berbunga-bunga.Takut kejadian horor itu terulang lagi.
Karena itulah aku yakin kalo sekarang udah
nggak layak disebut jomblo, tapi ....
Langkahku melambat, di ujung koridor kelas
kulihat dia di sana. Sedang asyik bicara di antara temen-temen sekelas kami
yang lain. Seperti biasa, wajahnya terlihat penuh senyum. Sumpah, mempesona
banget. Keliatan lebih bersinar dari pada cewek-cewek lain di sebelahnya. Atau
... Itu cuma perasaanku aja? Ah, entahlah.
Aku berjalan mendekat dengan sikap sok cuek
kaya biasanya.
“Eh, kok pada ngumpul di sini? Nggak inget pulang ya pada an?” Aku langsung
nimbrung.
“Emang lo nggak liat itu lagi ujan?” sahut Alex. Padahal perasaan tadi
aku tinggalin di kelas, ternyata udah nyampe duluan di sini.
“Kita lagi ngobrolin rencana nge-date bareng besok nih. Besok kan
hari minggu.” Leo ngasih tau.
“Iya, lo mau ikut nggak, Xan? Udah banyak nih yang mau gabung , kita
nonton bareng di Bioskop 21.” Tiara, pacar Leo, ikut menimpali.
“Yaelah, nonton bareng ama pasangan. Lah kita berdua musti jadian
dulu nih.” Alex merangkul bahuku dari samping. “Xander, lo mau ga jadi pacar gue?” godanya
menjijikkan.
Yang lain langsung tertawa dan memahami ke
jomblo-an kami berdua.
“Mending gua jadian sama Sasha daripada sama lo,” Aku langsung
merasa sedikit berdebar setelah ngomong gitu, dan disambut dengan ‘Ciee
...Cieee' yang lain.
Tanpa sadar aku melirik ke arah Sasha, saat
itu dia pun menoleh. Kaya biasanya dia cuma ketawa, tanpa bilang ya ataupun
enggak. Gimana nggak nambah penasaran coba?
Setelah menggaruk kepala yang nggak gatal,
aku mulai mendekati cewek manis itu. Dia sedang memercik-mercikkan air hujan
dengan jemari lentiknya.
“Suka hujan ya?” Aku membuka pembicaraan.
“Iya,” sahutnya tanpa menoleh.
“Kenapa? Karena hujan bisa membawa kembali kenangan tentang
seseorang?” Aku menebak dengan gaya bicara sok puitis.
“Bukan,” jawabnya sambil menoleh, dan tersenyum. “karena hujan bisa menunjukan rasa
sayang ...”
“Menunjukkan rasa sayang?” Dahiku mengernyit mengulang kata-katanya. “Maksudnya?”
Sasha menarik tanganku dan aku cuma menurut
ketempat mana yang dia mau. Dia membuatku keluar dan berdiri di tepian koridor,
sementara dia tetap berlindung di bawah atap nya. Rintik hujan mulai membasahi
kepalaku, tapi saat aku akan kembali naik ke lantai koridor, saat itulah Sasha
menelungkupkan kedua telapak tangannya di atas kepalaku. Melindunginya dari
tetes hujan.
"Kaya gini," ucapnya.
Kami bertatapan dengan jarak yang begitu
dekat.
Musik romantis langsung berdengung di
kepala.
Tung , tara tum, tarara tung, tara tung ...
Ummm.... Uttaran!
Weits, salah. Itu mah musik drama serial
India kesukaan emak-emak ! Ganti Shin, musiknya. Lalu terdengar suara musik pun
berubah menjadi lagu Thousands Year-nya Christina Perry.
I have died everyday waiting for you
Darling dont be afraid i have loved you
For a thousand year, i love you for a
thousands more ...
“Woi- Xander! Sehat dikit napa? Lo keujanan tuh !” Alex berseru
mengingatkan sekaligus membuyarkan moment romantisku dan Sasha. Nggak tau diri
emang dia.
Yang lain ikut tertawa bersama Alex,
sementara aku langsung naik kembali ke lantai koridor sambil mengacak rambutku
yang setengah basah. Masih terasa sedikit debaran di hati ditambah dengan
perasaan yang kacau. Lalu semakin bertambah kacau saat aku melihat senyum manis
di bibir Sasha khusus buatku. Matiii ....
-
-
Kejadian Sabtu kemaren itu aku rasa udah
cukup dijadiin sebagai petunjuk bahwa aku emang bener-bener bukan jomblo
seperti yang mereka tuduhkan. Jadi bukti kuat bahwa cintaku ke Sasha tuh emang
nggak bertepuk sebelah tangan. Sasha emang suka sama aku. Dan kemaren dia mau
nunjukin perasaannya itu. Kalo nggak malu, mungkin aku udah gelar syukuran di
rumah saat ini, tapi itu nggak aku lakuin karena nggak tau harus jawab apa kalo
ada yang nanya acara syukurannya buat apa?
Masa harus jawab, “Sebagai kesuksesan ngakhirin status
jones.” Lah ... sama
aja mengakui kalo selama ini emang jones dong?
Setelah beberapa jam memandangi taburan
bintang di langit malam dari jendela kamar, akhirnya aku memutuskan untuk
nelfon Leo.
“Hallo, dengan KFC.” Terdengar sahutan dari seberang.
“KFC ya? Bisa pesen pistol satu, Mas?” .
“Buat apaan ya, Mas?”
“Buat nembak kepala lo!” ketusku.
Suara tawa Leo langsung terdengar. “Ciee ... yang
mau main tembak-tembakan sama Sasha. Kok pesen pistolnya di KFC situ sehat,
Mas?”
“Vangke lo!” Aku tertawa. “besok jadi nggak nonton barengnya?”
“Ya jadilah. Udah pada nitip tiket ke gue. Kenapa?”
“Ehmm ...” Aku berdehem, karena merasa sedikit gugup dan malu. “Gue mau nitip
tiket buat dua orang.”
“Wah, ternyata ada juga yang mau ama lo ya, Bro!”
“Eh, Bro. Lo diem-diem ngomongnya nyakitin juga ya? Udah pernah kena
cium sepatu gue belom,Bro?”
“Yaelah ... gue mah tiap hari juga dicium ama cewek beneran, Bro.
Nah, kalo lo mungkin aja suka dicium sepatu. Hahaha!”
“Ah, sial lo!” Aku memaki kesal, tapi tertawa juga. "ya udahlah. Inget ya,
gue udah pesen tiket buat dua orang. Jangan lupa."
"Yoo, Bro!" sahutnya. Dan telfon
pun ditutup.
Aku terdiam. Masih menatap ke layar ponsel,
dengan pikiran melayang jauh membayangkan besok. Hmm, tapi ... ada yang harus
aku lakukan, yaitu bilang ke Sasha.
Setelah deg-degan untuk beberapa saat,
akhirnya aku mulai nge-chat Sasha.
[Hay, Sha.]
Agak lama dia baru membalas. [Hay *dengan
emot tersenyum] membuatku langsung kebayang senyum manis Sasha.
[Lagi ngapain?]
[Nggak ngapa-ngapain.]
[Malem minggu dirumah aja?]
[Iya nih, *emot tertawa]
[Gw juga. He-he.]
Chat terhenti. Dia nggak bales lagi dan aku
bingung mau ngomong apa. Akhirnya aku langsung ke inti percakapan.
[Sha, besok ikut nonton bareng temen-temen
ya?]
Sedikit berdebar menunggu balasan darinya.
Semenit, dua menit, tiga menit ... sampai mataku setengah terpejam karena mulai
ngantuk.
Lalu akhirnya Hp bergetar tanda balasan
darinya datang.
[Iya.]
Aku langsung loncat sambil teriak, “Yess...!
Yesss...!!!!!” Dan berlari berputar putar kamar sampai akhirnya nabrak Papa yang
baru saja masuk ke kamar dengan papan catur di tangannya.
.
.
Jam 1 siang kami sudah harus berkumpul di
depan bioskop 21.
Aku mengenakan celana jeans dan sweater
hitam panjang yang menurutku keliatan keren banget. Tak lupa dengan sepatu kets
belel warna abu-abu kesayanganku.
“Xander! Di sini...!!” Suara panggilan seseorang.
Aku menoleh ke asal suara. Ada Leo dan
Tiara, Shandy dan Luisa, juga Melanie dan Julian sudah berkumpul di sana.
Saat aku mendekat, mereka malah celingak
celinguk kaya lagi nyari seseorang.
“Lah, pasangan lo mana, Xan? Ini kan acara couple.” Dahi Leo
berkerut, mewakili pertanyaan semua yang ada disitu.
“Sebentar lagi nyampe,” jawabku santai. Soalnya pas aku telfon tadi,Sasha bilang nggak usah
jemput dia. Sebenernya aku ngerasa nggak enak karena jadi kaya cowok nggak
bertanggung jawab ama ceweknya. Tapi ya udahlah nggak papa, mungkin Sasha masih
malu ama keluarganya.
“Siapa sih? Sasha ya?”
“Atau ada cewek laen?”
“Iya nih gua yakin sih cewek nya Sasha, liat aja kemaren,”
“Ciee ... Ciee ...”
Langsung kudengar godaan riuh mereka.
Sementara aku cuma nyengir dan berkata dengan yakin, “Kalian udah kenal kok sama dia,”
“Hei, udah lama ya!” Tiba-tiba terdengar suara orang yang ditunggu-tunggu tepat di
belakangku.
Kami semua menoleh, dan ....
Pluk! Hatiku jatuh
Berderai di lantai Mall
Tanpa suara, tanpa percikan darah, tapi
sakitnya nyata.
Tepat di sebelahku kini kulihat Sasha.
Tidak sendiri. Tapi dengan seorang cowok keren di sampingnya. Mereka terlihat
mesra karena tangan cowok itu menggenggam erat jemari lentik Sasha.
Aku menelan ludah dan menatap Sasha tak
percaya. Sibuk bertanya dalam hati. Kenapa dia datang sama cowok lain? Bukannya
semalem dia bilang iya padaku ?
Aku mengeluarkan ponselku dari saku, lalu
mulai membuka chat kami semalam.
[Sha, besok ikut nonton bareng sama
temen-temen ya?]
[iya.]
Dan aku baru sadar ada sambungan chat lain
dibawahnya, mungkin karena saat itu aku terlalu sibuk teriak dan muter-muter
kaya orang gila, jadi nggak sempet baca terusannya.
[Aku datang sama Michael, pacar aku.]
sambungnya dengan emot love.
Hati yang tadi jatuh berderai di lantai,
kini tertiup angin. Fiiuuhh...
“Oh, kirain tadi Xander sama Sasha...” ucap Leo sedikit bengong.
Yang lain menoleh padaku. Dan terdengarlah
pertanyaan itu. Pertanyaan yang akan membuatku malu.
“Jadi ... Xander nonton sama siapa?” Tiara bergumam.
“Tiket nya udah pesen dua kok. Pasti nanti ada yang dateng kan, Xan?” Leo
menatapku.
Tiba-tiba ada yang merangkul bahuku dari
samping.
“sama gua lah, kaya biasanya.” ucap nya santai.
Alex.
Tawa mereka pecah seketika.
“Yaelah, semalem nelfon gue kirain emang mau nonton sama cewek. Ga
tau nya sama pacar lama,” Leo menepuk dahinya sendiri, disambut dengan tawa dan ciee ciee
yang lain untukku dan Alex.
Alex ikut tertawa, kemudian berbisik
padaku.
“Hidup, Jomblo!”
.
.
Kalian pikir jadi jomblo itu sakit? enggak,
Bro. Jadi jomblo itu nggak sakit, karena yang sakit itu adalah jadi jomblo yang
kena PHP.
Pedih, Bro. Sumpah, pedih ...
.
End